Liputan6.com, Jakarta: Ketua Dewan Direktur Lembaga Kajian
Publik Sabang-Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan, menegaskan harapan
masyarakat akan semakin dikorbankan jika antarunsur penegakan hukum terkait
penanganan kasus korupsi, utamanya yang melibatkan kepolisian dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), justru malah bersitegang alias tidak berjalan
harmoni dengan saling melengkapi kekuatannya masing-masing.
"Kepemimpinan dalam penegakan hukum harus bersikap reformis dan mengedepankan kewibawaan lembaganya, demi tegaknya kehormatan hukum dan terpenuhinya rasa kepuasan masyarakat yang mendambakan pemerintahan bersih dari korupsi," jelas Syahganda di Jakarta, Selasa (17/9).
Menurutnya, keengganan Markas Besar Polri untuk menyerahkan sepenuhnya penyidikan dugaan korupsi pengadaan alat simulator SIM di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri kepada KPK sejak kasusnya mencuat ke permukaan, menunjukkan ketidaknyamanan Polri terhadap KPK yang telah mengambilalih kasus tersebut hingga menetapkan empat tersangka, termasuk bekas pucuk pimpinan Korlantas Polri, Irjen (Pol) Djoko Susilo serta Brigjen (Pol) Didik Purnomo selaku Wakil Kepala Korlantas Polri.
Kasus itu merupakan proyek senilai Rp 196,8 Miliar dan terjadi pada tahun anggaran 2011, dengan dugaan unsur penggelembungan harga pengadaan mesin simulator SIM yang merugikan negara di atas Rp 90 Miliar. Di samping Polri yang melakukan pengusutan, KPK juga memulai penyelidikannya sejak awal 2012, dan selanjutnya ditingkatkan menjadi penyidikan pada 27 Juli 2012.
Lebih lagi, kata Syahganda, akibat ketidaknyamanan menghadapi kasus itu, Mabes Polri kemudian menciptakan langkah yang tidak simpatik dalam bentuk penarikan 20 penyidik asal Polri dari KPK, di tengah kesibukan KPK menuntaskan kasus itu selain seabreg kasus lain yang memerlukan fokus penyidikan cepat oleh KPK.
"Tentu saja cara yang ditempuh Polri bersifat bumerang, karena dapat menganggu kinerja dan profesionalisme lembaga KPK," ujarnya.
Ia mengharapkan, pimpinan Polri harus mendukung peran dan fungsi KPK dalam mempercepat penanganan kasus korupsi, yang di antaranya juga mengindikasikan keterlibatan aparatnya. Dengan begitu, upaya penegakan hukum dapat sama-sama dihadirkan di hadapan publik secara terang-benderang, tanpa perlu menguatirkan terjadinya pelemahan atas kewenangan di tubuh Polri.
Sebaliknya, memperpanjang ketidaksepahaman untuk terus berkutat dalam sengketa formal, jelas sekadar memperkeruh pengungkapan kasus korupsi. Hal itu sekaligus berdampak pada kebingungan masyarakat luas menyangkut kredibilitas dan integritas Polri dalam menyikapi kasus korupsi.
"Jadi, melalui sinergi kepolisian lah maka langkah-langkah KPK akan lebih bergigi dan membawa hasil nyata dalam perjuangan membebaskan Indonesia dari kejahatan korupsi," katanya. (ARI)
"Kepemimpinan dalam penegakan hukum harus bersikap reformis dan mengedepankan kewibawaan lembaganya, demi tegaknya kehormatan hukum dan terpenuhinya rasa kepuasan masyarakat yang mendambakan pemerintahan bersih dari korupsi," jelas Syahganda di Jakarta, Selasa (17/9).
Menurutnya, keengganan Markas Besar Polri untuk menyerahkan sepenuhnya penyidikan dugaan korupsi pengadaan alat simulator SIM di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri kepada KPK sejak kasusnya mencuat ke permukaan, menunjukkan ketidaknyamanan Polri terhadap KPK yang telah mengambilalih kasus tersebut hingga menetapkan empat tersangka, termasuk bekas pucuk pimpinan Korlantas Polri, Irjen (Pol) Djoko Susilo serta Brigjen (Pol) Didik Purnomo selaku Wakil Kepala Korlantas Polri.
Kasus itu merupakan proyek senilai Rp 196,8 Miliar dan terjadi pada tahun anggaran 2011, dengan dugaan unsur penggelembungan harga pengadaan mesin simulator SIM yang merugikan negara di atas Rp 90 Miliar. Di samping Polri yang melakukan pengusutan, KPK juga memulai penyelidikannya sejak awal 2012, dan selanjutnya ditingkatkan menjadi penyidikan pada 27 Juli 2012.
Lebih lagi, kata Syahganda, akibat ketidaknyamanan menghadapi kasus itu, Mabes Polri kemudian menciptakan langkah yang tidak simpatik dalam bentuk penarikan 20 penyidik asal Polri dari KPK, di tengah kesibukan KPK menuntaskan kasus itu selain seabreg kasus lain yang memerlukan fokus penyidikan cepat oleh KPK.
"Tentu saja cara yang ditempuh Polri bersifat bumerang, karena dapat menganggu kinerja dan profesionalisme lembaga KPK," ujarnya.
Ia mengharapkan, pimpinan Polri harus mendukung peran dan fungsi KPK dalam mempercepat penanganan kasus korupsi, yang di antaranya juga mengindikasikan keterlibatan aparatnya. Dengan begitu, upaya penegakan hukum dapat sama-sama dihadirkan di hadapan publik secara terang-benderang, tanpa perlu menguatirkan terjadinya pelemahan atas kewenangan di tubuh Polri.
Sebaliknya, memperpanjang ketidaksepahaman untuk terus berkutat dalam sengketa formal, jelas sekadar memperkeruh pengungkapan kasus korupsi. Hal itu sekaligus berdampak pada kebingungan masyarakat luas menyangkut kredibilitas dan integritas Polri dalam menyikapi kasus korupsi.
"Jadi, melalui sinergi kepolisian lah maka langkah-langkah KPK akan lebih bergigi dan membawa hasil nyata dalam perjuangan membebaskan Indonesia dari kejahatan korupsi," katanya. (ARI)
0 komentar:
Posting Komentar